Kondisi Pemenuhan Hak Pekerja di Bali
Hak-hak normatif pekerja, seperti upah sesuai standar, waktu kerja manusiawi, cuti dan istirahat, hak berserikat, jaminan sosial melalui BPJS, serta perlindungan K3, merupakan hak dasar yang wajib dipenuhi dalam hubungan kerja di Indonesia, termasuk Bali. Dalam hal PHK, pekerja berhak atas pesangon, penghargaan masa kerja, dan kompensasi lain sesuai peraturan perundang-undangan. Namun, implementasinya di Bali masih jauh dari ideal.
Ketimpangan hubungan industrial melemahkan posisi pekerja, sehingga mereka kerap kehilangan haknya, bahkan menghadapi PHK atau intimidasi saat memperjuangkannya. Fungsi pengawasan oleh Dinas Ketenagakerjaan pun cenderung pasif, baru bertindak setelah ada laporan, bukan secara aktif dan preventif. Data Catahu LBH Bali 2023–2024 mencatat 202 korban pelanggaran ketenagakerjaan, terutama terkait upah di bawah minimum, ketidakikutsertaan dalam BPJS, pelanggaran K3, pembatasan hak berserikat, dan pelanggaran hak pasca-PHK.
Sektor pariwisata, jasa, dan perhotelan menjadi penyumbang pelanggaran terbesar, memperlihatkan kegagalan perlindungan di sektor unggulan Bali. Karena itu, pemerintah wajib menindak tegas pelanggaran ketenagakerjaan melalui sanksi administratif seperti denda, pembekuan, atau pencabutan izin usaha, demi pemulihan hak pekerja dan menciptakan efek jera.
Lemahnya Satwasker
Dalam konteks ini, Satuan Pengawas Ketenagakerjaan (Satwasker) Provinsi Bali berperan strategis dalam memastikan kepatuhan perusahaan terhadap norma ketenagakerjaan. Tugasnya mencakup pemeriksaan kepatuhan, penyelidikan tindak pidana ketenagakerjaan, dan pembinaan perusahaan. Namun, jumlah pengawas aktif di Bali yang hanya sekitar 17 orang pada tahun 2025 sangat tidak sebanding dengan lebih dari 84.000 unit usaha formal, berdasarkan data BPS Bali 2023.
Ketimpangan tersebut menjadikan pengawasan tidak optimal dan melemahkan efektivitas perlindungan ketenagakerjaan. Idealnya, satu pengawas hanya menangani 40 hingga 60 perusahaan agar pengawasan dapat dilakukan secara efektif dan berkelanjutan. Dengan beban lebih dari 2.500 perusahaan per pengawas, banyak pelanggaran tidak terdeteksi atau tidak tertangani dengan baik.
Akibatnya, marak terjadi pelanggaran hak normatif pekerja, seperti upah di bawah ketentuan, pekerja tidak terdaftar dalam BPJS Ketenagakerjaan, dan penerapan K3 yang tidak memadai. Oleh karena itu, Satwasker harus memperkuat pendekatan pengawasan aktif melalui inspeksi rutin. Prioritas perlu diberikan pada sektor pariwisata dan jasa yang rentan pelanggaran dan pekerjanya sering takut melapor karena ancaman retaliasi.
Untuk mengatasi ketimpangan tersebut, Pemerintah Provinsi Bali perlu menambah jumlah pengawas ketenagakerjaan dan meningkatkan kompetensi mereka melalui pelatihan berkelanjutan. Sarana pendukung seperti kendaraan operasional dan sistem informasi berbasis digital juga harus dilengkapi. Tanpa upaya penguatan ini, Bali akan terus menghadapi masalah ketenagakerjaan yang kronis dan merusak citra sebagai destinasi wisata serta investasi ramah pekerja.
Urgensi Desk Ketenagakerjaan
Selain memperkuat peran Satwasker, pembentukan Desk Ketenagakerjaan di Polda Bali menjadi langkah strategis yang mendesak. Desk ini berfungsi sebagai saluran khusus untuk menangani dugaan tindak pidana ketenagakerjaan, mempercepat koordinasi penyelidikan, dan memastikan penegakan hukum yang profesional. Unsur-unsur desk meliputi penyidik kepolisian berkompetensi ketenagakerjaan, pengawas ketenagakerjaan dari Dinas Tenaga Kerja, serta perwakilan BPJS Ketenagakerjaan untuk verifikasi jaminan sosial.
Mabes Polri dan Polda Jawa Tengah telah membentuk Desk Ketenagakerjaan pada awal tahun 2025. Kehadiran desk ini terbukti mempercepat penanganan kasus pidana ketenagakerjaan secara signifikan. Sebaliknya, di Bali, ketiadaan desk membuat penanganan kasus lambat karena masih ditangani oleh Ditreskrimsus yang menangani berbagai laporan lain.
Keterlambatan tersebut berdampak nyata dalam kasus union busting terhadap pekerja PLTU Celukan Bawang dan pekerja PT Angkasa Pura Support. Penanganan yang lambat dan kesalahan tafsir Pasal 28 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 membahayakan perlindungan hak berserikat pekerja. Frasa “Barangsiapa” dalam pasal itu menegaskan bahwa semua pihak dapat dijerat pidana apabila menghalangi hak berserikat.
Oleh karena itu, Gubernur Bali perlu segera mendorong pembentukan Desk Ketenagakerjaan di lingkungan Polda Bali. Pembentukan desk ini menjadi bentuk tanggung jawab moral dan hukum untuk menjamin perlindungan hak-hak pekerja. Langkah ini juga sejalan dengan prinsip good governance, yakni pemerintahan yang responsif, akuntabel, dan berorientasi pada keadilan sosial.