Pemenuhan Kebutuhan Air yang Tidak Seimbang
Di tengah kelangkaan air untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga, pemenuhan air bersih untuk kebutuhan industri pariwisata di Bali Selatan justru berlimpah dan tidak pernah tidak tercukupi. Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali tahun 2022 menunjukkan bahwa jumlah penggunaan air bersih oleh golongan rumah tangga di Badung mencapai 63.928 m3 per tahun 2020, sedangkan jumlah penggunaan air bersih dari golongan niaga dan industri di Badung jauh lebih kecil yakni 8.120 m3 pada tahun yang sama. Padahal, berdasarkan pemantauan PT Pengembangan Pariwisata Indonesia atau lebih populer dikenal dengan Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) menyebut kebutuhan air bersih khusus di Nusa Dua tahun 2021 diperkirakan mencapai 10.000 m3.
Untuk memenuhi kebutuhan air di sektor pariwisata ini, ITDC bekerjasama dengan perusahaan produsen air PT Perusahaan Air Indonesia Amerika (PAIA) dalam rangka pembangunan infrastruktur dan penyediaan air bersih di Nusa Dua dan Mandalika.
Pembangunan infrastruktur air tersebut begitu jomplang. Jika di Nusa Dua akses terhadap air bersih sudah terakomodir mengingat itu kawasan prioritas bisnis pariwisata, di Pecatu justru sebaliknya. Meskipun masyarakat Pecatu sudah mengeluhkan sulitnya akses air bersih di sana, Perumda Tirta Mangutama tidak bersungguh-sungguh merespon keluhan masyarakat. Kades Pecatu I Made Karyana Yadnya, menduga pertumbuhan akomodasi pariwisata di Badung Selatan berpengaruh terhadap debit air ke rumah tangga. Ia berpendapat bahwa pemenuhan atas kebutuhan air pelanggan masyarakat dengan akomodasi pariwisata tidak seimbang.
Buruknya Infrastruktur Penyediaan Air
Selain di Bali Selatan, pembangunan infrastruktur untuk penyediaan air bersih di Bali Utara juga buruk. Masyarakat Desa Sukadana, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, menghadapi kondisi kelangkaan air yang sama dengan masyarakat di Kuta Selatan. Sulitnya akses terhadap air bersih tersebut juga disebabkan oleh kondisi geografis desa yang berada di 300m permukaan laut. Pemerintah telah membangun reservoir untuk pemenuhan kebutuhan air rumah tangga, namun tidak berlangsung lama karena tingginya biaya perawatan. Pemanfaatan reservoir yang tidak maksimal dan hanya dalam jangka waktu pendek menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan air. Pemerintah mengadopsi prinsip profit oriented alih-alih kesejahteraan publik–jika tidak menghasilkan keuntungan, maka optimalisasi infrastruktur air tidak perlu dilanjutkan.
Tak hanya Kuta Selatan, Kintamani saat ini menjadi salah satu destinasi pariwisata primadona di Bali. Namun, dibalik masifnya pariwisata di sana, tidak sedikit perempuan yang berjuang mengakses air bersih, tepatnya di Banjar Taksu, Kintamani, Bangli. Pembangunan infrastruktur untuk penyediaan air bersih di desa tersebut buruk, sehingga para keluarga di banjar ini berkolektif membangun pipa-pipa air. Tiap Kepala Keluarga (KK) dikenakan uang beban Rp 10.000 per bulan dan biaya pemakaian air tergantung kilometer.
Kelangkaan air karena keterbatasan infrastruktur Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) turut dirasakan warga Desa Besan dan Dawan Kaler, Klungkung. Hingga kini, masyarakat di desa tersebut harus berjuang untuk mengakses air bersih mengingat pipa air PDAM belum menjangkau desa mereka. Masyarakat kemudian memanfaatkan sumber air dari sumur freatis di Pura Tengkada dan Pura Anakan.