LOKASI | JUMLAH TEMUAN | KORBAN | PELAKU | BENTUK PELANGGARAN | |
Pemerintah | Perusahaan | ||||
Badung | 4 | 20 Buruh coffeeshop 4 buruh migran 100 Buruh PT. APS 100 Pekerja Perikanan | 1 | 4 | Upah < UMK, dan tidak dibayarkannya Upah Perdagangan Orang/ Eksploitasi Kerja Hak atas kepastian dan status kerja Upah tidak layak, jam kerja berlebihan, dan kesehatan yang terancam akibat beban kerja yang tinggi serta kurangnya transparansi dalam sistem pengupahan |
Gianyar | 1 | 135 Daily Workers | 1 | 1 | Pelanggaran terhadap upah yang layak dan hidup layak |
Karangasem | 2 | 1037 Buruh Kontrak di Instansi Pemerintah 2 buruh hotel | 2 | 1 | Pelanggaran Terhadap kepastian status kerja, dan hidup layak Pelanggaran terhadap hak atas upah layak, jaminan sosial, dan hidup layak |
Denpasar | 1 | 8 Buruh Perumda Kerthi Bali | 1 | Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Sepihak, serta hak atas hidup layak | |
Buleleng | 2 | 254 Buruh PLTU Celukan Bawang 5 buruh migran | 1 | 2 | Praktik perburuhan tidak sehat TPPO |
Jumlah | 10 | 1665 Orang | 6 | 8 |
Temuan terkait Eksploitasi Buruh dan Rekomendasi Kebijakan
Berdasarkan Catatan Tahunan YLBHI–LBH Bali 2023–2024, terdapat 1.665 korban kasus eksploitasi buruh di Bali, terutama terkait hak sebelum dan sesudah PHK, hak atas keberlanjutan kerja akibat peralihan perusahaan atau PHK yang tidak sah, serta pelanggaran hak untuk berserikat yang diduga merupakan praktik union busting. Data ini menunjukkan bahwa praktik perburuhan yang tidak sehat benar-benar terjadi.
Salah satu akar dari berbagai permasalahan tersebut adalah kondisi peraturan ketenagakerjaan di Indonesia yang cenderung memperburuk situasi para pekerja, khususnya sejak diberlakukannya UU CK yang merevisi banyak substansi penting dalam UU Ketenagakerjaan, sehingga melemahkan perlindungan terhadap buruh.
Harapan perubahan muncul melalui Putusan MK Nomor 168/PUU-XXI/2023 yang memerintahkan pembentuk undang-undang untuk segera menyusun undang-undang ketenagakerjaan yang baru dengan mengakomodasi pertimbangan dari putusan-putusan MK sebelumnya.
Di samping itu, pembentuk undang-undang juga perlu segera mengesahkan RUU PPRT sebagai wujud tanggung jawab negara dalam menjamin perlindungan, pengakuan, dan penghormatan terhadap hak-hak pekerja rumah tangga.
Untuk mengatasi tumpang tindih regulasi di sektor pekerja perikanan, negara juga perlu segera meratifikasi Konvensi ILO Nomor 188 Tahun 2007.