Beberapa hari belakangan ini, di Bali digemparkan dengan kasus kekerasan dan penyiksaan keji yang diduga dilakukan oleh majikan Desak Made Wiratningsing terhadap Pekerja Rumah Tangganya (PRT) Eka Fbrianti dan Santi Yuni Astuti, tidak sampai disana saja PRT tersebut juga dalam beberapa media juga tidak mendapatkan Upah selama 7 (tujuh) bulan. Apabila ditelaah ada dua perbuatan hukum yang menjadi sorotan :
A. Perbuatan Penyiksaan keji dan tidak manusiawi yang dilakukan berulang-ulang
Perbuatan Penyiraman air Panas, Pembakaran, Penyiksaan lainnya baik dilakukan sekali maupun berulang-ulang telah bertentangan dengan
- Pasal 28 G ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, “ Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.”
- Pasal 351-355 Kitab Undang-Undang Hukum Pidanatentang Penganiayaan Fisik
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita (Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women), Konvensi ini juga menyatakan bahwa diskriminasi terhadap perempuan tidak saja terjadi pada situasi normal, tapi terjadi juga pada saat situasi khusus seperti adanya kemiskinan. Pada situasi kemiskinan, diskriminasi terhadap perempuan menyebabkan perempuan menduduki posisi paling kurang memiliki akses terhadap pangan, kesehatan, pendidikan, pelatihan dan kesempatan dalam lapangan kerja dan kebutuhan lainnya.
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Convention Against Torture And Other Cruel, Inhuman Or Degrading Treatment Or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan Dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, Atau Merendahkan Martabat Manusia), Konvensi mengatur pelarangan penyiksaan baik fisik maupun mental, dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia yang dilakukan oleh atau atas hasutan dari atau dengan persetujuan/sepengetahuan pejabat publik (public official) dan orang lain yang bertindak dalam jabatannya. Adapun pelarangan penyiksaan yang diatur dalam Konvensi ini tidak mencakup rasa sakit atau penderitaan yang timbul, melekat atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku;
-
Pasal 33 Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang
Hak Asasi Manusia, “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya -
Pasal 5 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara:
- kekerasan fisik
- kekerasan psikis;
- kekerasan seksual; atau
- penelantaran rumah tangga.
Penyiksaan yang dilakukan dalam hubungan majikan dan PRT yang mana masuk dalam ruang lingkup rumah tangga, kondisi korban sangat lemah baik secara struktur dan ekonomi sehingga majikan bertindak sewenang-wenang. Penyiksaan oleh majikan dapat dijerat dengan Pasal 44 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) dan KUHAP atas kekerasan fisik yang dilakukan, dan atas kekerasan psikis yang dilakukan dapat dijerat dengan Pasal 45 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), apabila korban menderita jatuh sakit atau luka berat maka ancaman bagi pelaku maksimal 10 tahun penjara.
B. Pekerjaan Paksa hingga Perdagangan Orang
-
Pasal 20 ayat (2) Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang
Hak Asasi Manusia, “Perbudakan atau perhambaan, perdagangan budak, perdagangan wanita, dan segala perbuatan berupa apapun yang tujuannya serupa, dilarang.” - Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, “Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan”. Penjelasan Undang-undang ini Ketentuan ini merupakan asas yang pada dasarnya berlaku untuk semua pekerja/buruh, kecuali apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak dapat melakukan pekerjaan bukan karena kesalahannya
- Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, “Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia,…”
Perbuatan majikan dalam hirarki hubungan pekerja yang melakukan pemotongan upah maupun tidak membayar upah sebagai bentuk perdagangan orang dikarenakan proses yang dialami korban dari awal mulai dari proses perekrutan dengan melakukan penipuan akan mendapatkan upah tetapi dalam kenyataannya majikan melakukan eksploitasi dengan tidak membayarkan upah selama 7 (tujuh) bulan, dapat diancam pidana paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun
Korban perlu mendapat perlindungan atas segala bentuk penyiksaan, kekerasan dan perbuatan keji yang dideritanya, berupa :
- perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
- pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
- penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
- pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perunudang-undangan; dan
- pelayanan bimbingan rohani.
Denpasar, 20 Maret 2019
YLBHI-LBH Bali